banner prov babel banner prov babel
Artikel

Ingin Terlihat Pintar, Tapi Malah Terlihat Tidak Tahu Apa-Apa

29
×

Ingin Terlihat Pintar, Tapi Malah Terlihat Tidak Tahu Apa-Apa

Sebarkan artikel ini

Ditulis oleh : Sandi Kharisma R, S.I.Kom

Ilustrasi(net)

Di dunia yang serba cepat dan kompetitif ini, kita hidup dalam era personal branding. Setiap orang berlomba menunjukkan siapa dirinya—di ruang kerja, di kelas, bahkan di media sosial. Menunjukkan diri sebagai orang pintar, cerdas, dan tahu banyak adalah salah satu cara paling umum untuk membangun citra yang kuat.

Tapi ada satu jebakan yang sering luput kita sadari: keinginan untuk terlihat pintar, justru bisa memperlihatkan ketidaktahuan yang sebenarnya ingin kita tutupi.

Pernah nggak, dalam sebuah diskusi kelompok atau rapat, kamu melihat seseorang yang selalu ingin jadi pusat perhatian? Orang yang tak pernah absen berkomentar, menyela, atau sekadar bicara supaya terdengar aktif?

Kadang, komentar-komentar itu tidak nyambung, dangkal, atau justru menunjukkan bahwa dia nggak benar-benar paham apa yang sedang dibahas. Tapi karena ingin “terlihat tahu,” dia terus memaksakan diri tampil vokal.

Masalahnya, dalam situasi seperti ini, orang lain nggak bodoh. Mereka bisa membedakan mana pendapat yang substansial dan mana yang cuma asal bunyi. Dan di sinilah letak bahayanya—bukannya terlihat cerdas, orang seperti ini malah kehilangan kredibilitas.

Psikologi sosial menyebut ini sebagai Dunning-Kruger Effect, yaitu kondisi di mana seseorang yang memiliki pengetahuan rendah justru merasa dirinya paling tahu. Ia terlalu percaya diri dalam hal yang sebenarnya belum ia kuasai. Dan tanpa sadar, ia menempatkan dirinya dalam posisi yang memalukan.

Sementara itu, mereka yang benar-benar kompeten justru cenderung lebih rendah hati. Mereka tahu bahwa semakin banyak yang dipelajari, semakin mereka sadar bahwa masih banyak yang belum diketahui. Maka dari itu, mereka lebih memilih untuk berhati-hati saat berbicara, tidak buru-buru menghakimi, dan lebih banyak mendengarkan.

Salah satu ciri kecerdasan yang sering terlewat adalah kemampuan mendengarkan. Dalam budaya yang mengagungkan siapa yang paling cepat angkat tangan atau paling vokal di ruang rapat, kemampuan mendengarkan seringkali diremehkan.

Padahal, justru dari mendengarkanlah seseorang bisa menyusun argumen yang kuat, memahami konteks dengan lebih tajam, dan tahu kapan waktunya memberi masukan yang bermakna. Orang yang cerdas bukan yang bicara terus-menerus, tapi yang bisa membawa percakapan ke arah yang lebih baik saat ia bicara.

Ini poin pentingnya: pintar itu nggak harus selalu terlihat.
Menjadi cerdas bukan berarti harus membuktikannya setiap saat. Ada kalanya kita lebih dihargai karena tahu kapan harus diam, karena itu menunjukkan kedewasaan dan pengendalian diri.

Apalagi dalam era digital, ketika semua orang bisa memberi komentar tentang apa pun, kemampuan untuk “menahan diri” justru menjadi kualitas langka. Jangan sampai kita menjadi bagian dari kebisingan itu—berusaha terlihat tahu banyak padahal tidak punya landasan yang kuat.

Mengakui bahwa kita belum tahu adalah langkah awal dari belajar. Dan itu bukan kelemahan. Justru itu menunjukkan bahwa kita terbuka untuk berkembang. Dunia tidak butuh orang yang sok tahu—dunia butuh orang yang mau terus belajar.

Kalau kamu belum paham topik yang dibahas, tidak apa-apa. Dengarkan dulu. Pelajari. Lalu, jika memang sudah waktunya, sampaikan pendapat dengan tenang dan berdasar.

Di balik keinginan terlihat pintar, seringkali muncul perilaku lain yang lebih berbahaya: suka menasehati orang di depan umum tanpa mempertimbangkan perasaan. Bahkan, ada yang dengan enteng menyalahkan, mengkritik, atau menguliti kekurangan seseorang di depan banyak orang—atas nama “jujur”, “tahu lebih”, atau “demi kebaikan”.

Padahal, saat empati mati dan nasehat diberikan tanpa hati, itu tidak lagi membangun—itu menjatuhkan.
Tanpa sadar, itu sudah masuk ke dalam ranah bullying.

Niat menegur memang bisa baik. Tapi cara dan tempat menyampaikannya menentukan apakah itu akan membangun, atau justru meruntuhkan mental seseorang. Menasehati di depan umum bisa terasa seperti mempermalukan, apalagi jika disampaikan dengan nada merendahkan.

Kita perlu ingat: tidak semua kritik harus disampaikan di depan orang lain. Tidak semua “kebenaran” harus diumbar di tengah keramaian. Ada ruang-ruang pribadi yang lebih tepat, ada cara-cara yang lebih manusiawi.

Cerdas itu bukan hanya soal isi kepala—tapi juga soal empati. Orang yang benar-benar bijak akan tahu bahwa memperbaiki seseorang tidak perlu sambil membuatnya merasa kecil.

Jangan sampai demi terlihat pintar, kita justru memperlihatkan ketidaktahuan kita sendiri.
Kecerdasan sejati tidak datang dari banyaknya kata yang kita ucapkan, tapi dari kejelasan isi, ketepatan waktu, dan kerendahan hati saat menyampaikannya.

Jadi, yuk belajar jadi versi diri yang cerdas dan bijak.
Karena dunia butuh lebih banyak orang yang bukan hanya tahu… tapi juga tahu diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *