Dalam kehidupan sosial dan profesional, kita kerap menjumpai sosok yang pandai berbicara, cermat menata logika, serta lihai mematahkan argumen orang lain. Mereka tampak cerdas dan meyakinkan di ruang diskusi, namun ketika situasi menuntut tindakan nyata, langkah mereka terhenti. Fenomena ini sering disebut sebagai ahli retorika — seseorang yang pandai berkata-kata, tetapi minim aksi.
Secara historis, istilah retorika berakar dari filsafat Yunani kuno. Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai “seni untuk menemukan cara terbaik dalam meyakinkan orang lain.” Dalam konteks positif, kemampuan ini menjadi fondasi penting bagi kepemimpinan dan komunikasi publik. Namun, ketika retorika berubah menjadi sekadar permainan kata tanpa substansi dan tindakan, ia kehilangan nilai moralnya. Di titik ini, kepintaran berargumen justru menjauhkan seseorang dari realitas.
Ciri dan Pola Sikap
Menurut penjelasan dalam Kumparan, salah satu penyebab mengapa orang pintar belum tentu sukses adalah karena mereka terlalu lama berpikir dan berdiskusi tanpa mengeksekusi ide-idenya. Mereka nyaman berada di wilayah teoritis, di mana segala sesuatunya bisa dikendalikan lewat logika, bukan kenyataan lapangan.
Sosok seperti ini juga cenderung sulit menerima kritik. Setiap masukan dianggap ancaman terhadap intelektualitasnya, bukan sebagai sarana perbaikan diri. Akibatnya, mereka lebih banyak membela diri ketimbang berbenah.
Lebih jauh lagi, mereka menjadikan argumen sebagai tujuan, bukan alat. Diskusi bukan lagi sarana mencari solusi, melainkan ajang mempertahankan pendapat. Perdebatan menjadi kompetisi ego yang memuaskan, tetapi tidak menghasilkan perubahan apa pun.
Akar Masalah: Antara Ego dan Ketakutan
Fenomena ini bukan sekadar soal karakter, tetapi juga soal psikologi. Pertama, ada dorongan untuk mendapatkan pengakuan melalui kata-kata. Bagi sebagian orang, kemenangan dalam debat memberi sensasi kuasa dan prestise sosial yang instan.
Kedua, kemampuan berbicara sering dijadikan tameng untuk menutupi ketidakmampuan bertindak. Dengan menguasai wacana, seseorang bisa tetap terlihat cerdas meski tidak memiliki solusi praktis. Dalam banyak kasus, hal ini menjadi bentuk mekanisme pertahanan diri.
Ketiga, rasa takut gagal membuat seseorang memilih bersembunyi di balik retorika. Argumen panjang lebar menjadi cara untuk menunda keputusan atau menghindari tanggung jawab. Seperti kata Dale Carnegie, “Ketakutan membuat kita kehilangan lebih banyak kesempatan daripada kegagalan itu sendiri.”
Refleksi: Menyeimbangkan Kata dan Perbuatan
Retorika adalah alat yang kuat, tetapi hanya bermakna bila disertai tindakan. Dunia tidak berubah oleh perdebatan, melainkan oleh keberanian untuk bertindak. Nelson Mandela pernah berkata, “Visi tanpa aksi hanyalah mimpi, aksi tanpa visi hanyalah kesibukan, tetapi visi dengan aksi dapat mengubah dunia.”
Karena itu, keseimbangan antara kata dan perbuatan menjadi ukuran kedewasaan berpikir. Argumen yang baik seharusnya melahirkan solusi, bukan sekadar menunda perubahan. Dalam ruang publik, akademik, maupun kehidupan sehari-hari, kredibilitas sejati tidak diukur dari seberapa pandai seseorang berbicara, tetapi dari seberapa besar dampak nyata yang ia hasilkan.
Akhirnya, di tengah derasnya arus opini dan wacana hari ini, kita perlu bertanya kepada diri sendiri:
Apakah kita sungguh ingin mengubah keadaan, atau hanya ingin terdengar pintar ketika membicarakannya?







