Scroll Untuk Baca Berita
banner 728x90
banner 728x90
ArtikelLife Style

Saat Terang Menyinari Yang Gelap Merasa Terganggu

190
×

Saat Terang Menyinari Yang Gelap Merasa Terganggu

Sebarkan artikel ini

Oleh: 5 and 1

Aneh ya? Justru saat kita sedang di puncak performa—saat kerja keras mulai membuahkan hasil, saat kita memulai, saat langkah kita mulai diperhitungkan—di saat itulah gangguan datang dari arah yang tak terduga.

Bukan dari lawan. Bukan dari luar. Tapi dari dalam lingkaran sendiri. Dari mereka yang katanya teman. Yang dulu bersama-sama dalam diam, kini ribut ketika kita bersuara.

Banyak yang tidak siap melihat kita naik. Mereka bisa tersenyum di depan, tapi menusuk dari belakang. Mereka menyapa dengan pujian, tapi hatinya dipenuhi iri. Bukan karena kita salah. Tapi karena kita benar-benar mulai berhasil.

Ketika kita bersinar, kita secara tidak sadar menyinari sisi gelap orang lain. Kita membuka perbedaan: antara mereka yang berjuang dan mereka yang diam, antara mereka yang konsisten dan mereka yang hanya menunggu momen. Dan di sanalah letak ketidaknyamanannya.

Sebagian orang tak senang jika kita berubah menjadi versi terbaik dari diri kita. Mereka akan berkata, “Ah, dia sudah berubah,” bukan karena kita berubah menjadi buruk, tapi karena kita tidak lagi bisa mereka kontrol. Kita sudah tidak butuh validasi dari mereka. Kita berjalan sendiri. Mandiri. Dan itu mengusik ego mereka.

Lalu muncullah gangguan: fitnah halus, sindiran pasif-agresif, upaya menjatuhkan reputasi, bahkan sekadar diam yang dingin. Jangan heran—ini bukan soal kita, ini tentang apa yang keberhasilan kita ungkap dari dalam diri mereka.

Ada juga yang datang dengan wajah ramah, mengaku mendukung, tapi menambatkan harapannya pada kegagalan kita. Mereka berharap kita terpeleset, bukan karena benci, tapi karena ingin merasa lebih baik dengan melihat kita jatuh. Penjilat seperti ini berbahaya: mereka memeluk sambil menyiapkan pisau.

Dan semuanya itu makin terasa di dunia kerja, di mana persaingan tak jarang menjadi medan yang kejam. Ambisi menumpuk, empati menghilang. Banyak orang berlomba naik, tapi tak peduli siapa yang harus diinjak.

Rezeki seolah-olah harus diperebutkan. Uang kecil pun bisa jadi rebutan. Bukan karena nilainya, tapi karena egonya. Sedikit bonus, sedikit insentif, bahkan upah lembur pun bisa jadi pemicu konflik dan drama. Bukan lagi soal kebutuhan, tapi soal gengsi dan ingin terlihat paling berhak.

Padahal hidup bukan sekadar siapa yang dapat paling banyak, tapi siapa yang bisa tetap bersih dalam proses mendapatkannya.

Dan dalam semua kerumitan itu, hanya sedikit orang yang memperhatikan hal paling penting: karakter. Siapa yang tetap jujur saat tak ada yang melihat? Siapa yang masih peduli saat semua sibuk mengejar target?

Tapi tenang saja—waktu akan menjawab. Waktu akan menguji, memilah, dan menyaring siapa yang layak bertahan. Siapa yang hanya berpura-pura, dan siapa yang benar-benar punya hati.

Karena dalam dunia yang penuh persaingan ini, kesetiaan adalah kelangkaan, dan ketulusan adalah kemewahan. Maka ketika kamu menemukan satu atau dua orang yang tetap tulus, yang tidak ikut menyikut hanya demi uang kecil atau pujian sesaat—pertahankan mereka. Itu harta yang tak bisa dibeli.

Dan kamu, tetaplah berjalan. Bukan untuk membuktikan pada mereka. Tapi untuk menepati janji kepada dirimu sendiri: bahwa kamu akan terus naik, tanpa menjatuhkan, dan terus kuat, meski banyak yang ingin melihatmu jatuh.

Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling ramai yang akan dikenang, tapi siapa yang paling tenang—dan tetap utuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *