PANGKALPINANG, KATABABEL.COM — Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar kegiatan konsultasi publik dalam rangka penyusunan kebijakan publik yang partisipatif serta memperkuat substansi Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Rabu (2/7/2025).
Acara yang berlangsung di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Komplek Perkantoran Gubernur, Jalan Pulau Bangka, Air Itam, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, ini dihadiri oleh Anggota Komisi XIII DPR RI, pimpinan LPSK, serta berbagai pemangku kepentingan dari unsur pemerintah daerah, aparat penegak hukum, penyedia layanan, akademisi, praktisi hukum, hingga kelompok masyarakat sipil.
Mewakili walikota pangkalpinang Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kota Pangkalpinang, Akhmad Bekti, yang turut menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Menurutnya, regulasi saat ini masih memiliki banyak kekurangan yang berdampak pada keterbatasan perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana.
> “Salah satu alasan mengapa undang-undang ini perlu direvisi adalah karena banyak hal penting yang belum tercakup. Misalnya, perlindungan bukan hanya untuk korban atau saksi yang bersifat umum, tapi juga termasuk agen penyamar dalam kasus-kasus tertentu,” ujar Akhmad Bekti.
Ia menekankan bahwa jenis tindak pidana yang dilindungi juga perlu diperluas, tidak hanya terbatas pada kategori tertentu. “Harapannya, perubahan undang-undang ini akan memperluas cakupan perlindungan terhadap semua korban tindak pidana tanpa terkecuali,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Akhmad Bekti menyampaikan masukan dari LPSK terkait tantangan pembiayaan medis bagi korban tindak pidana. Saat ini, banyak korban yang mengalami luka fisik serius belum mendapatkan jaminan layanan medis yang memadai.
> “Dari masukan LPSK, mereka menyampaikan bahwa saat ini belum ada skema pembiayaan yang tegas untuk korban yang mengalami luka-luka atau membutuhkan penanganan medis. Karena secara sistem, BPJS tidak menanggung seluruh kebutuhan medis korban tindak pidana,” jelasnya.
Hal ini menjadi masalah tersendiri, terutama di daerah-daerah yang minim fasilitas dan pendampingan. Oleh karena itu, LPSK mendorong agar ke depan ada dukungan anggaran yang jelas melalui APBN maupun APBD untuk menjamin proses pemulihan korban.
Forum konsultasi ini menjadi ruang diskusi terbuka yang menunjukkan bahwa revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban bukan hanya soal pembaruan norma hukum, tetapi juga memperkuat seluruh ekosistem perlindungan—baik dari aspek hukum, sosial, hingga layanan kesehatan.
Komisi XIII DPR RI bersama LPSK berkomitmen merumuskan perubahan undang-undang secara inklusif dan partisipatif, memastikan bahwa suara dari daerah, lembaga layanan, dan masyarakat sipil menjadi bagian penting dalam proses pembentukan kebijakan nasional.
Tidak ada komentar