banner 1028x250

BELAJAR PEMBANGUNAN DESA DARI KOREA SELATAN UNTUK DESA DI INDONESIA

admin
12 Jun 2025 19:31
Opini 0
8 menit membaca

Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya bulan April, saya berkesempatan menyampaikan presentasi tentang kebijakan Pembangunan Desa di Indonesia mewakili peserta Studi Strategik Luar Negeri IPDN bertempat di Yonsei University Korea Selatan. Sebenarnya ini bukan yang pertama saya ke Korea Selatan, pertama tahun 2016 sebagai peserta Saemaul Training for Afghanistan and Indonesia dan yang kedua pada pertemuan Global Saemaul Undong Ministerial Meeting 2023.

Pada kesempatan tersebut, saya sampaikan tentang kebijakan, implementasi dan hasil-hasil Pembangunan desa di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, terutama setelah adanya kebijakan UU Nomor 6 tahun 2014 beserta turunannya. Banyak hasil yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam menggerakkan pembangunan desa, baik yang berkaitan dengan infrastruktur dasar, pengembangan ekonomi lokal maupun dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat Desa. Namun demikian Indonesia masih banyak menghadapi tantangan, mengingat jumlah desa yang cukup banyak, yakni 75.265 desa dan tersebar dengan berbagai kondisi geografi terutama desa-desa di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Belum lagi soal tata kelola, transparansi dan akuntabilitas seiring dengan tingkat SDM aparatur pemerintah Desa dan masyarakat sebagai control sosial yang mewarnai dinamika dalam pembangunan desa di Indonesia.

Prof. Park Jong-Dae, Yonsei University GSIS juga menyampaikan berbagai pengalaman Korea Selatan dalam mengelola kebijakan dan pengembangan desa hingga menjadi negara maju seperti sekarang ini. Pembangunan Desa merupakan fondasi penting dalam membangun negara di tengah tantangan kemiskinan, ketimpangan, dan keterisolasian yang masih dialami banyak desa. Pembangunan desa tidak hanya soal infrastruktur atau bantuan keuangan, tetapi juga soal transformasi sosial dan mentalitas kolektif masyarakat. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman Korea Selatan melalui gerakan pembangunan desa mereka yang dikenal sebagai Saemaul Undong, atau Gerakan Desa Baru.

Latar Belakang Saemaul Undong

Saemaul Undong diluncurkan pada awal tahun 1970 oleh Presiden Park Chung Hee sebagai respons terhadap kemiskinan pedesaan pasca perang Korea. Pada saat itu, Korea Selatan adalah salah satu negara termiskin di dunia, dan mayoritas penduduk tinggal di desa-desa yang terisolasi dan tertinggal. Melalui gerakan ini, pemerintah Korea mengajak masyarakat desa untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan, dengan bertumpu pada tiga nilai utama: kerja keras (diligence), kemandirian/gotong royong (self-help), dan kerja sama (cooperation). Gerakan ini sangat terstruktur, Pemerintah memberikan bantuan awal berupa bahan bangunan seperti semen dan baja kepada seluruh desa. Namun, bantuan lanjutan hanya diberikan kepada desa-desa yang mampu memanfaatkan bantuan awal secara efektif dan menunjukkan inisiatif. Ini menciptakan persaingan sehat antar desa dan mendorong partisipasi aktif warga. Desa-desa yang berhasil menunjukkan perubahan fisik maupun sosial mendapat penghargaan dan dukungan lebih lanjut. Ini bukan hanya pembangunan infrastruktur, tetapi revolusi mental dan budaya.

Makna dan Relevansi Tiga Nilai Utama Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru)

Berikut makna tiga nilai utama dalam Gerakan desa baru yang digelorakan dan ditanamkan kepada pemerintah dan masyarakat desa oleh Pemerintah Korea Selatan dibawah kepemimpinan Presiden Park Chung Hee ;

a. Kerja Keras (Diligence). Nilai kerja keras menjadi fondasi perubahan. Masyarakat desa diajak untuk mengubah pola pikir dari bergantung pada negara menjadi produktif dan mandiri. Kerja keras tidak hanya diwujudkan dalam kegiatan fisik seperti membangun jalan atau irigasi, tetapi juga dalam bentuk disiplin, efisiensi, dan komitmen terhadap tujuan bersama. Di Korea Selatan, nilai ini ditanamkan sejak dini melalui pendidikan dan pelatihan, sehingga menjadi bagian dari budaya kerja masyarakat desa.

b. Kemandirian / Gotong Royong (Self-help). Konsep self-help atau kemandirian sangat relevan dengan budaya Indonesia. Kita mengenal gotong royong sebagai bagian dari identitas sosial. Namun, dalam praktik modern, gotong royong sering kali hanya dilakukan saat ada proyek pemerintah atau bersifat musiman. Saemaul Undong menghidupkan kembali semangat ini sebagai strategi pembangunan. Warga desa di Korea Selatan membentuk komite-komite kecil untuk mengelola proyek, membagi tugas, dan memastikan keberlanjutan. Mereka juga berkontribusi dalam bentuk tenaga kerja, waktu, dan bahkan dana pribadi.

c. Kerja Sama (Cooperation). Nilai ketiga adalah kerja sama yang solid antar warga dan antara warga dengan pemerintah. Desa-desa yang berhasil adalah desa yang memiliki kepemimpinan lokal yang kuat dan partisipasi warga yang tinggi. Mereka menjalankan proyek bersama, menyelesaikan konflik melalui musyawarah, dan membangun rasa saling percaya. Hubungan antarwarga menjadi lebih erat karena mereka memiliki tujuan bersama dan mengalami proses pembangunan sebagai sebuah perjalanan kolektif.

Dampak Nyata di Korea Selatan

Penerapan ketiga nilai tersebut menghasilkan dampak luar biasa. Dalam waktu kurang dari dua dekade, ribuan desa di Korea Selatan mengalami peningkatan signifikan dalam hal infrastruktur, produktivitas pertanian, sanitasi, dan kualitas hidup. Lebih dari itu, perubahan mentalitas dan budaya kerja masyarakat menjadi modal utama dalam mempercepat pembangunan nasional. Desa tidak lagi menjadi beban, melainkan menjadi motor pertumbuhan dan sumber daya manusia berkualitas. Gerakan ini juga melahirkan generasi pemimpin lokal yang mampu mengorganisir masyarakat secara partisipatif dan bertanggung jawab. Pendekatan dari bawah ke atas ini kemudian diadopsi dalam berbagai kebijakan nasional, bahkan direplikasi oleh negara-negara lain di Asia dan Afrika melalui program bantuan pembangunan internasional Korea.

Penerapan untuk Indonesia

Lantas, bagaimana penerapan nilai-nilai ini bisa dilakukan di Indonesia? Pertama, perlu adanya komitmen nasional untuk menjadikan pembangunan desa sebagai prioritas jangka panjang. Program Dana Desa yang telah berjalan sejak 2015 menjadi langkah awal yang penting. Namun, perlu ditingkatkan dengan strategi pendampingan, pelatihan, dan evaluasi berbasis kinerja. Desa bukan sekadar penerima anggaran, melainkan pelaku pembangunan itu sendiri. Kedua, penting untuk menanamkan nilai kerja keras sebagai budaya desa. Ini bisa dilakukan melalui program pelatihan kewirausahaan, pengembangan keterampilan lokal, serta penghargaan bagi desa yang berprestasi. Pemerintah daerah dan pusat harus membangun sistem yang mendorong produktivitas, bukan ketergantungan. Desa-desa yang mampu menciptakan inovasi lokal sebaiknya diberi insentif lebih besar agar bisa menjadi contoh bagi desa lain. Ketiga, semangat gotong royong harus dihidupkan kembali bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai strategi pembangunan. Kegiatan gotong royong dapat diarahkan pada proyek nyata seperti pembangunan infrastruktur desa, pemeliharaan lingkungan, dan pengembangan usaha desa. Peran tokoh masyarakat, pemuda, dan perempuan harus diperkuat dalam proses ini, karena mereka adalah agen perubahan paling dekat dengan kehidupan warga. Keempat, membangun kerja sama yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan swasta sangat penting. Saemaul Undong berhasil karena ada sinergi antara negara dan rakyat. Di Indonesia, kerja sama ini dapat diwujudkan melalui kemitraan antara desa dan dunia usaha, pengembangan BUMDes dan koperasi yang profesional, serta kolaborasi lintas sektor. Desa harus diberikan ruang untuk mengatur dirinya sendiri, namun tetap dalam kerangka regulasi dan pendampingan yang jelas. Kelima, pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam menciptakan perubahan sosial tidak boleh diabaikan. Dalam pengalaman Korea Selatan, pelatihan kepemimpinan dan manajemen proyek menjadi kunci keberhasilan. Indonesia dapat mengembangkan pusat-pusat pelatihan desa di setiap provinsi yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan inovasi global. Pendidikan berbasis desa dapat mendorong lahirnya pemimpin desa yang visioner, jujur, dan mampu menggerakkan warganya.

Tantangan dan Peluang Desa di Indonesia

Tentu saja, tidak semua pendekatan Saemaul Undong bisa diterapkan secara langsung di Indonesia karena perbedaan konteks sejarah, sosial, dan politik. Keragaman budaya dan karakteristik wilayah yang membutuhkan pendekatan lokal yang spesifik, sebagian kapasitas SDM di desa masih rendah dan perlu penguatan berkelanjutan, dan pengaruh politik lokal yang kadang menjadi penghambat partisipasi dan keberlanjutan program. Namun, esensi gerakannya adalah mengubah mentalitas, memberdayakan masyarakat, dan membangun solidaritas sosial, sangat sesuai dengan semangat Pancasila dan cita-cita keadilan sosial. Transformasi desa di Indonesia tidak cukup dengan anggaran besar, tetapi dengan membangun kembali rasa percaya diri masyarakat desa untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Seperti di Korea Selatan, pembangunan desa harus melibatkan masyarakat secara aktif. Musyawarah desa bisa diubah menjadi forum produktif yang tidak hanya membahas kebutuhan, tetapi juga mengembangkan inovasi dan strategi bersama. Kepala desa bukan hanya pejabat administratif, tetapi pemimpin sosial yang mampu menginspirasi dan menggerakkan warganya. Pelatihan kepemimpinan dan pengelolaan dana bagi kepala desa sangat penting untuk mewujudkan visi ini. Dana Desa harus dikelola dengan prinsip keadilan dan efisiensi. Korea Selatan hanya melanjutkan bantuan kepada desa yang benar-benar bekerja keras dan mampu mempertanggungjawabkan hasil. Mekanisme seperti audit partisipatif dan laporan publik bisa diterapkan di Indonesia. Pembangunan desa harus menjadi gerakan nasional, bukan proyek pemerintah semata. Ia harus tumbuh dari bawah, melibatkan semua elemen masyarakat, dan berorientasi pada keberlanjutan. Jika Korea Selatan berhasil menjadikan desa sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi, maka Indonesia pun mampu tentu dengan satu syarat: mau belajar, mau berubah, dan mau percaya bahwa kekuatan desa adalah kekuatan bangsa.

Penutup

Dengan belajar dari keberhasilan Saemaul Undong, Indonesia tidak hanya mendapat inspirasi, tetapi juga arah baru dalam membangun desa yang mandiri, berdaya saing, dan bermartabat. Di bawah Asta Cita Presiden, membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan, maka spirit kerja keras, kemandirian dan gotong royong serta kerjasama multi pihak dapat diinfiltrasikan dalam ruang kebijakan dan pelaksanaan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat desa. Saatnya desa menjadi pusat kemajuan, bukan lagi simbol keterbelakangan. Pembangunan desa bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan proyek perubahan sosial yang mengakar dalam nilai-nilai luhur bangsa. Dan seperti Korea Selatan, kita pun bisa “bangun desa bangun Indonesia, Desa terdepan untuk Indonesia. “

*) Sugito adalah mahasiswa program Doktoral Ilmu Pemerintahan_IPDN dan Pj. Gubernur Bangka Belitung 2024-2025, serta Staf Ahli Bidang Hubungan Antar lembaga Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *