Oleh: Sugito, S.Sos, M.H.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pemerintahan IPDN
Pj. Gubernur Bangka Belitung 2024–2025
Pendahuluan
Pilkada serentak 2024 telah digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di seluruh Indonesia. Seperti biasa, euforia demokrasi berlangsung di tengah berbagai dinamika. Ada yang melahirkan pemenang jelas, ada pula yang berlanjut ke Mahkamah Konstitusi. Tercatat, MK menerima 310 perkara sengketa, mencerminkan betapa kompetitif dan kompleksnya iklim demokrasi lokal.
Namun, dari sekian banyak dinamika, satu fenomena yang menarik perhatian adalah kemenangan kotak kosong. Tercatat, dari 37 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon, dua daerah yaitu Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang — keduanya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung — justru dimenangkan oleh “kotak kosong”. Ini bukan sekadar kekalahan calon tunggal, melainkan tamparan keras terhadap mekanisme demokrasi yang semestinya kompetitif dan terbuka.
Memaknai Kemenangan Kotak Kosong dalam Demokrasi
Kemenangan kotak kosong dimungkinkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XIII/2015 dan Peraturan KPU No. 13 Tahun 2018, yang mengatur bahwa dalam pilkada dengan calon tunggal, surat suara tetap memuat dua kolom: satu untuk pasangan calon dan satu lagi untuk kotak kosong. Ini menjadi kanal sah dan legal bagi masyarakat untuk menolak calon tunggal yang dianggap tidak mewakili aspirasi mereka.
Secara filosofis, kotak kosong mencerminkan substansi demokrasi: kekuasaan berada di tangan rakyat. Rakyat berhak untuk tidak setuju. Bahwa ada pasangan calon yang didukung semua partai politik, belum tentu menjadi jaminan dukungan rakyat. Menang atau tidaknya kandidat bukan ditentukan oleh elite partai, tetapi oleh rakyat melalui bilik suara.
Fenomena ini menjadi sinyal kuat: rakyat bukan boneka yang bisa diarahkan oleh mesin politik. Mereka punya kehendak, punya nalar, dan bisa bersuara lewat “diam” yang tegas: mencoblos kolom kosong.
Borong Partai dan Realitas Politik Pilkada 2024
Di banyak daerah, fenomena “borong partai” membuat hanya satu pasangan calon yang bisa maju karena seluruh partai di DPRD mendukung kandidat yang sama. Alhasil, tidak ada lawan, tidak ada kompetisi, tidak ada pilihan. Inilah titik awal kotak kosong menjadi alternatif.
Namun faktanya, borong partai tidak menjamin kemenangan. Seperti di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, calon tunggal yang didukung semua partai justru kalah. Ini menunjukkan bahwa keputusan elite partai seringkali tak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Partai gagal menjadi pilar demokrasi yang menyaring dan menyodorkan calon pemimpin berkualitas, dan malah menjadi alat kompromi kekuasaan.
Lebih dari itu, fenomena ini memicu perlawanan internal partai dan masyarakat. Mereka yang tak mendapatkan tiket mencalonkan diri bisa saja mendukung kota kosong, membuat kampanye senyap di balik layar, atau membentuk opini publik yang kritis terhadap calon tunggal.
Analisis Demokratis: Mengapa Kotak Kosong Menang?
Kemenangan kotak kosong adalah bentuk kritik terhadap oligarki politik. Banyak calon tunggal adalah incumbent yang disokong logistik dan popularitas, bukan karena integritas atau kapasitas. Padahal dalam demokrasi, pemilihan haruslah soal kompetensi, bukan dominasi.
Kekalahan mereka menunjukkan dua hal. Pertama, mesin partai dan kekuatan elite tidak berjalan efektif. Kedua, masyarakat semakin cerdas dan kritis, menolak dijadikan objek politik. Mereka tahu hak mereka, dan memilih untuk tidak memilih jika tak ada calon yang layak.
Maka, kemenangan kotak kosong bukan sekadar statistik pilkada. Ini adalah simbol perlawanan, pesan dari rakyat kepada elite politik bahwa demokrasi bukan hanya ritual lima tahunan, tetapi soal kualitas pemimpin yang dipercaya dan diharapkan membawa perubahan.
Penutup: Pelajaran Berharga untuk Demokrasi Kita
Kemenangan kotak kosong di Pilkada 2024 adalah pelajaran penting bagi semua pihak. Bahwa demokrasi sejatinya memberi ruang bagi partisipasi aktif rakyat, bukan dikendalikan oleh segelintir elite. Bahwa partai politik semestinya menjadi penyaring dan penyedia pilihan, bukan justru mengunci ruang kompetisi demi kenyamanan politik.
Kini, kita menanti pelaksanaan pilkada ulang di dua daerah tersebut. Harapannya, partai politik tidak lagi mengulang kesalahan serupa. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi, transparansi, dan partisipasi. Rakyat sudah bersuara — saatnya elite mendengar dan berubah.
Tidak ada komentar